Daftar Blog Saya

Kamis, 19 Januari 2012

Kisah Salman Al-Farisi


Salman Al-Farisi terkenal sebagai arsitek perang Khandaq. Ia berasal dari Isfahan, Persia. Ayahnya seorang bupati. Pada mulanya Salman menganut agama Majusi, mengikuti agama orang tuanya.
Pada suatu ketika ia melihat sekelompok orang Nasrani sedang beribadah di gereja. Ia tertarik melihat cara orang Nasrani beribadah. Menurut pikirannya cara beribadah orang Nasrani lebih baik dari pada ibadah yang ia lakukan selama ini. Setibanya kembali di rumah, Salman berdebat dengan ayahnya. Ia mengatakan bahwa agama yang mereka anut selama ini tidak baik, ada agama yang lebih baik, yaitu agama Nasrani. Ayahnya sangat marah. Salman lalu dibelenggu, tidak boleh ke luar rumah.
Ketika mendengar ada rombongan orang-orang Nasrani menuju Syiria, Salman meloloskan diri dari belenggu orang tuanya. Ia bergabung bersama rombongan orang-orang Nasrani dan pergi menuju Syiria. Salman lalu memeluk agama Nasrani dan tinggal bersama uskup gereja. Karena tidak puas dengan cara hidup uskup tersebut yang sudah menyimpang dari ajaran agama yang sesungguhnya, Salman pun pindah ke Amuria, suatu kota di wilayah Romawi. Di sana ia tinggal bersama seorang pemuka agama. Menjelang ajalnya tiba, pemuka agama itu berpesan kepada Salman, bahwa pada waktunya di tanah Arab akan bangkit seorang nabi yang membawa agama Nabi Ibrahim, kemudian ia hijrah ke negeri yang banyak terdapat pohon kurma. Dia mempunyai ciri mudah dikenali antara lain tidak mau makan-makanan dari barang shadaqah dan di bahunya terdapat tanda kenabiaan.
Setelah pemuka agama itu wafat, Salman pergi menuju negeri Arab, ikut bersama rombongan dari negeri tersebut. Di lembah Qura (lembah antara Syiria dan Madinah) ia dijual oleh rombongan itu kepada seorang Yahudi. Jadilah ia seorang budak. Tidak berapa lama iapun dijual lagi kepada salah seorang dari Bani Quraidhah lalu di bawa ke Yatsrib. Ketika itu nabi masih berda di Mekah.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, Salman mempunyai firasat, bahwa orang yang dicarinya sudah datang. Dia bertambah yakin, ketika menyaksikan tingkah laku seseorang persis sama dengan apa yang diceritakan oleh pemuka agama waktu di Amuria. Ketika suatu saat Salman melihat tanda kenabiaan di punggungnya Rasulullah, ia segera memeluk beliau sambil menangis. Rasulullah bertanya, "Mengapa engkau menangis?". Salman lalu menceritakan kisah perjalan panjangnya mencari agama yang benar.
Ketika terjadi perang Badar dan Uhud, Salman sudah masuk Islam. Ia tidak ikut dalam perang tersebut karena statusnya masih budak. Atas saran Rasulullah dan atas bantuan keuangan dari para sahabat, akhirnya Salman dibebaskan dari perbudakan. Iapun hidup sebagai seorang muslim yang bebas.
Beberapa tahun kemudian terjadi perang Khandaq. Pasukan kafir Quraisy yang berkekuatan besar dan persenjataaan lengkap bergerak menyerbu kaum muslimin di Madinah. Mereka bukan hanya orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai musuh mereka, termasuk bani Quraidhah (Yahudi) yang berada di Madinah. Dengan demikian posisi umat Islam benar-benar terjepit akan digempur dari luar dan dari dalam.
Rasulullah sangat menyadari bahwa keadaan sangat gawat. Pada saat itu tampil Salman Al-Farisi memberi saran, agar membuat parit di sepanjang daerah terbuka untuk menahan gerak laju pasukan musuh. Rasulullah dan para sahabat lainnya menyetujui. Panggalian parit pun dimulai. Salman ikut bekerja sampai parit itu selesai.
Ketika tiba di perbatasan kota Madinah, pasukan kafir Quraisy tercengang melihat parit yang panjang, lebar, dan dalam menganga di hadapan mereka. Mereka sangat terpukul, menyaksikan pemandangan yang tak diduga itu. Mereka terpaksa berhenti dan berkemah di tepi parit. Sementara musuh berada di dalam kota tidak berani memulai peperangan. Tidak kurang dari sebulan lamanya pasukan musuh itu berkemah, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Dalam keadaan kecewa, Allah mendatangkan angin topan dahsyat memporak-porandakan kemah-kemah mereka.
Rasulullah sering memuji kecerdasan, ketinggian ilmu, serta budi pekerti Salman. Ali bin Abi Thalib memberi gelar Salman dengan sebutan "Lukmanul Hakim". Di hati para sahabatnya, Salman mendapat kedudukan yang mulia dan derajat utama. Salman adalah orang yang sangat sederhana. Sebenarnya ia adalah seorang putra Persia yang hidup berkemewahan. Tetapi ia tinggalkan semua kemewahan itu. Ia juga menolak jabatan, kecuali jabatan untuk memimpin suatu pasukan dalam membasmi kemusyrikan dan kebathilan. Ia baru mau menerima jabatan jika orang lain tidak ada lagi yang mampu melaksanakannya.
Di hari tuanya ia hidup amat sederhana. Tunjangan dari Negara sebenarnya cukup besar, tetapi semua tunjangan itu ia sumbangkan untuk membantu fakir miskin. Untuk keperluan nafkah keluarganya ia bekerja menganyam daun kurma menjadi bakul atau keranjang. Hasil penjualan barang kerajinan itu ia gunakan sepertiga untuk nafkah keluarganya, sepertiga untuk modal, dan sepertiga lagi untuk shadaqah.
Sa'ad bin Abi Waqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. "Apa yang Anda tangiskan wahai Abu Abdillah?" tanya Sa'ad (abu Abdillah adalah panggilan sehari-hari untuk Salman Al-Farisi). Salman menjawab," Demi Allah, aku menangis bukan karena takut mati, atau mengharapkan kemewahan. Aku hanya teringat pesan Rasulullah agar orang harus hidup sederhana, padahal harta milikku begini banyaknya". Tentu sa'ad sangat heran mendengar Salman mengatakan bahwa hartanya banyak, karena yang ia lihat di rumah Salman hanya ada sebuah piring dan sebuah baskom.
Pada suatu hari seorang laki-laki dari Syiria membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat. Melihat Salman yang tampak seperti orang biasa dan miskin, orang itu memanggil Salman dan menyuruh membawakan barang itu. Salman pun menurut dengan patuh. Mereka lalu berjalan bersama. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan serombongan orang. Salman memberi salam. Rombongan itu menjawab serentak, "Waalaikum salam, ya Amir !". Orang Syiria tadi merasa heran, dan bertanya dalam hati,….Amir yang mana, padahal orang yang dituju oleh rombongan itu hanya dia berdua. Orang Syiria itu tambah heran lagi setelah salah seorang dari rombongan itu menghampiri Salman dan berkata, "Wahai Amir, berikan barang ini, biarlah saya yang membawanya!" Mengertilah laki-laki dari Syiria itu, bahwa yang disuruhnya membawa barangnya adalah seseorang yang amat dihormati dan disegani. Ia pun berusaha mengambil barang itu, tetapi Salman menolaknya, "Tidak, barang ini tetap akan aku bawa sampai ke rumahmu".
Tak satupun barang berharga di dunia ini yang ia senangi kecuali ada satu barang yang dianggap sangat berharga dan barang itu ia titipkan kepada istrinya untuk disimpan dengan baik. Ketika sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, salman meminta barang titipannya itu kepada istrinya. Rupanya barang itu hanya seikat kesturi untuk wangi-wangian pada hari wafatnya. Salman berkata kepada istrinya," Percikkanlah air kesturi ini di sekelilingku. Sekarang telah datang di hadapanku makhluk Allah (malaikat) yang tiada dapat makan, hanya gemar wangi-wangian!" Setelah menyebut nama Allah, Salman pun wafat.
Ketika Salman Al-Farisi telah wafat, Ali bin Abi Thalib pernah ditanya orang mengenai Salman. Ali bin Abi Thalib menjawab :"Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapapun di antara kalian yang menyamai Lukmanul Hakim (Salman), ia beroleh ilmu yang pertama dan terakhir. Dan dibawanya kitab yang pertama dan kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagaikan lautan yang airnya tak pernah kering".     

Sumber :

Alfat Masan, Drs, dkk. 2003. Aqidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas 3. Toha Putra : Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar